Kearifan dari Segenggam Garam

Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal sholeh dan bijak. Di suatu pagi yang dingin, datanglah seorang lelaki muda yang sedang di sedang landa masalah. Dengan langkah gontai dan rambut kusut, ia tampak seperti orang yang tak pernah mengenal bahagia. Tanpa menunda waktu, ia mengungkapkan segala keresahannya. Impiannya yang gagal, cintanya yang tidak pernah berakhir bahagia, URFnya merah semua, projectnya tidak ada yang on time. Bapak tua yang bijak itu hanya mendengarannya dengan teliti dan seksama. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke segelas air, lalu mengaduknya dan berkata, “Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya??”.
Dan pemuda itu pun meminum segelas air yang telah diberikan oleh pak tua. “Ahh.., asin sekali! Pahit pak!!”, jawab pemuda tersebut. Pak tua itu hanya tersenyum, lalu mengajak anak muda tersebut berjalan ke tepi telaga yang ada dalam hutan dekat tempat tinggalnya.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh, akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang. Masih dengan mata yang tenang dan penuh dengan cinta, orang tua yang bijak itu menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga yang membuat gelombang dan riak kecil.
Setelah air telaga tenang, ia pun berkata, “Anak muda, coba kamu cicipi air telaga tersebut, dan minumlah”. Setelah anak muda tersebut meneguk air telaga, pak tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya??”. “Mm.., ini baru segar sekali rasa airnya Pak tua”, jawab anak muda tersebut.
“Dan apakah kamu masih merasakan garam di dalam air tersebut?”, tanya pak tua. “Tidak, sepertinya tidak, sedikitpun aku tidak merasakan asin!”.
Mendengar hal itu, dengan bijak Pak tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga dan berkata, “Anak muda, pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Tidak lebih dan tidak kurang! Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki”.
Kepahitan itu selalu berasal dari bagaimana kita meletakkan segalanya. Dan itu tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya satu hal yang boleh kita lakukan. Lapangkanlah dada untuk menerima semuanya, luaskan hati untuk menampung sebuah kepahitan tersebut, luaskan wadah pergaulan supaya kita mempunyai pandangan hidup yang luas. Maka, kita akan banyak belajar dari keleluasaan tersebut. Hati adalah wadah itu, perasaan adalah tempat itu, kamu adalah tempat menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hati seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam semua kepahitan itu, dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.

Kakek tua, Pemuda dan Pohon Besar

Saya ingin menceritakan sebuah kisah yang dimuat dalam kitab Ihya Ulumudin karya Al Ghazali.

Alkisah ada seorang pemuda Budiman yang suatu saat mendengar bahwa beberapa orang di desanya menyembah sebuah pohon tua. Pemuda itu kemudian pergi menasehati orang-orang itu. “Menyembah pohon itu berarti perbuatan syirik”, katanya, “yang patut disembah hanya Allah, Tuhan pencipta alam semesta”.

Namun orang-orang ternyata tetap saja menyembah pohon tua itu hingga pada akhirnya pemuda itu menjadi geram. Diambilnya sebuah kapak, kemudian dia pergi menuju pohon tua itu. Dalam perjalanan, pemuda itu bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek itu bertanya, “Mau kemana anak muda?”.



“Aku mau pergi untuk menumbangkan pohon tua yang jadi sesembahan orang-orang di desa ini”, jawab pemuda tadi.

Kalau begitu engkau tidak boleh lewat” kata kakek tua itu.

Apa maksudmu? Tanya si pemuda.

Aku tidak akan membiarkanmu menebang pohon itu. Kalau engkau memaksa, engkau harus melewati aku dulu”, jawab si kakek.

Akhirnya terjadi perkelahian antara si pemuda dan si kakek. Si pemuda dengan mudah dapat mengalahkan kakek itu. Namun kemudian kakek itu membuat penawaran. “Jika engkau membatalkan niatmu untuk menebang pohon itu, engkau akan menemukan dua keping emas setiap harinya di bawah tempat tidurmu”.

Kakek tua itu melanjutkan, “Dengan emas itu, engkau bisa memberi nafkah untuk keluargamu tanpa kamu harus bekerja. Dengan begitu engkau akan punya waktu lebih banyak untuk menyembah Tuhanmu. Selain itu, sisa emasnya dapat engkau gunakan untuk membantu orang-orang yang ada di sekitarmu”.

Pemuda itu berpikir sejenak dan akhirnya menerima penawaran itu. Setelah memastikan kakek tua itu akan memenuhi janjinya, pemuda itu kembali pulang.

Keesokan harinya, pemuda itu benar-benar menemukan dua keping emas di bawah tempat tidurnya. Demikian juga pada hari-hari berikutnya.

Pemuda itu kemudian menggunakan emas itu untuk menafkahi keluarganya dan menolong orang-orang yang tidak mampu. Kini dia punya banyak waktu untuk beribadah. Sampai suatu keitka, dia tidak menemukan dua keping emas tadi. Dengan perasaan marah, pemuda itu mengambil kapaknya dan berjalan menuju pohon tua. “Tidak ada emas, tidak ada pohon” ucapnya dalam hati.

Dalam perjalanan dia bertemu kembali dengan kakek tua itu. Si pemuda menuntut emasnya. Kakek tua itu menolak dan melarangnya lewat. Perkelahian terjadi lagi, namun kali ini si pemuda kalah. Tubuhnya tersungkur di bawah si kakek tua. Pemuda itu bertanya, kenapa sekarang engkau sangat kuat? Bukankah engkau dulu aku kalahkan dengan mudah?

Kakek itu menjawab, “Dulu kau lawan aku karena engkau memperjuangkan keyakinanmu, sekarang engkau lawan aku hanya karena dua keping emas.”

Begitulah kekuatan keikhlasan, Jika anda arahkan perjuangan hidup Anda pada pencapaian suatu tujuan mulia, segala sesuatunya menjadi mungkin.


Dipengaruhi untuk menjadi kaya dan bermanfaat

Bagian ini saya ambil dari buku Percepatan Rezeki dalam 40 hari dengan otak kanan, yang Insya Allah berguna untuk memotivasi anda untuk kaya dan bermanfaat, sengaja saya memberikan postingan ini juga untuk memotivasi saya untuk kaya dan bermanfaat, mari sama-sama kita berdoa agar doa kita untuk menjadi kaya dan bermanfaat bagi orang lain dapat terkabul, aamiin.
Kemudian Apa Lagi ?
Di awal buku ini, pikiran Anda sedikit diguncang. Begitu buku ini dibuka halaman demi halaman, guncangan pun semakin hebat. Nah, di akhir buku ini, pikiran Anda kembali diguncang.

  • Kekayaan tidak dapat menjamin kebahagiaan di dunia. Lha apalagi kemiskinan? Lebih tidak menjamin lagi! Hehehe!
  • Ketika kaya, Anda dapat memilih untuk terus sibuk atau tidak, menikmati waktu atau tidak. Kalau miskin? Anda tidak punya pilihan. Mau tak mau Anda harus sibuk dan kejar-kejaran dengan waktu. Padahal dengan keleluasaan waktu, Anda dapat tenang-tenang bercengkrama dengan keluarga juga beribadah.
  • Si miskin yang saleh dan si kaya yang saleh, kedua-duanya baik. Tapi siapa yang lebih bermanfaat bagi sesama? Kemungkinan besar, si kaya yang saleh!
  • Si kaya membangun sekolah dan rumah sakit. Si Miskin berharap gratisan untuk masuk sekolah dan rumah sakit. Si kaya memberangkatkan orang berumrah. Si miskin berharap diberangkatkan umrah. Si kaya menjadi tangan di atas. Si miskin menjadi tangan di bawah. Nah, apa pilihan Anda?
  • Tangan di atas memang segelintir. Pastikan saja, itu Anda! Tangan di bawah memang selalu ada. Pastikan saja, itu bukan Anda!
  • Sebagian orang sering mengeluh, "Orang kaya yang satu ini kok tidak mau membantu sesama?" Ya sudah, kalau begitu Anda saja yang menjadi orang kayanya, sehingga Anda bisa membantu sesama.
  • Memang ada beragam dalil sahih tentang keutamaan si miskin. Namun ada beragam pula dalil sahih tentang keutamaan kaya. Yah ini soal pilihan. Untuk terakhir kalinya disarankan, pilihlah kaya, sehingga Anda bisa lebih bermanfaat bagi sesama.
  • Kalau Anda memilih hidup yang sedang-sedang saja atau biasa-biasa saja, bisa saja itu egois. Karena hanya mementingkan diri sendiri. Mestinya? Anda sukseskan dan kayakan orang lain!
  • Bagi Anda yang memilih dan memutuskan untuk kaya dan bermanfaat, dengarlah, kami bersama Anda. Setulus hati kami turut mendoakan, mudah-mudahan kehidupan Anda sekeluarga dicurahi keberkahan dan keberlimpahan. Aamiin!