[Trending Topic Gold ] Emas, pertahanan terakhir Bangsa Indonesia yang tergerus

George A. Maley, seorang eksekutif Freeport-McMoran pada tahun 1996 menuliskan dalam bukunya “Grasberg” bawah gunung tambang emas di Papu memiliki cadangan emas terbesar di dunia.
Menurut data tahun 1995, di areal Grasberg saja tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons, dan masih akan terus menguntungkan hingga tahun 2040. Freeport-Mc Moran Copper & Gold yang menambang emas di Papua di tambang Erstberg (sejak 1967) dan Grasberg (sejak 1988), menambang emas sebanyak minimal 300 ton setiap tahunnya.

Seorang jurnalis CNN section Indonesia pada tahun 1980-an pernah terbang di ketinggian dengan helicopter di atas gunung emas Freeport di Papua dan dia menyatakan kesaksiannya: “ Dari ketinggian, gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Butiran-butiran emas tersebut sangat mudah didapat, berserakan di atas tanah sehingga tak perlu lagi teknologi hebat untuk memisahkannya dengan tanah”.

Forbes Wilson melakukan sebuah penelitian yang kemudian disatukan dalam sebuah buku berjudul “The Conquest of Cooper Mountain” dan menyebut bahwa gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah d sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar mentari. Riset Wilson ini juga pernah dikutip oleh Lisa Pease dan dimuat di majalah Probe dengan judul “JFK, Indonesia, CIA and Freeport”. Lima tahun kemudian, harian Kompas memuatnya dengan judul “Freeport McMoran, Soekarno dan rakyat Irian (1)”

----
(1)EraMuslim Digest, Islamic Thematic Handbook, Edisi Koleksi 11, halaman 73 – 76

Ada 3 cara halus bagaimana perampokan ekonomi dilakukan ‘bangsa maju’ terhadap ‘bangsa tertinggal’. Ada satu cara kasar dan satu lagi cara ‘pertengahan’ (2).
Tiga cara halus itu diantaranya menarik simpanan suatu Negara ke Negara lain dengan cara mengiming-imingi keuntungan besar kepada bangsa lemah untuk membeli asset-aset keuangan, seperti bonds (surat utang) dan deposito di Negara maju. Cara ini menarik masuk dana ke Negara besar sekaligus melemahkan sector riil di Negara berkembang yang menanamkan dananya. Padahal resikonya sama besarnya dengan keuntungannya. Dua cara lain adalh seigniorage (selisih biaya cetak) dan pinjaman dengan bunga. Pinjaman dengan bunga ini mudah sekali dipahami cara kerjanya, karena pada tingkat individu juga kerap terjadi. Hutang tak terbayar karena bunga-berbunga bisa membuat kita melepaskan asset dan jatuh miskin.

Satu cara halus yang sering telah kita bahas adalah seigniorage. Dengan uang kertas yang biaya cetaknya murah, Negara tertentu bisa membeli komoditas dan asset dari Negara lain. Segampang itu, tapi banyak bangsa sulit sekali menyadarinya.
Penjelasannya begini: sebuah Negara akan mengalami potensi kerugian ketika memutuskan untuk mematok uang lokalnya terhadap mata uang asing yang disepakati sebagai acuan, US dollar misalnya, dan mempersilahkan mata uang asing tersebut untuk digunakan dalamt transaksi-transaksi domestiknya. Dalam kesepakatannya, system perbankan Negara ‘tertinggal’ tidak diperkenankan untuk mengeluarkan/mencetak uang baru kecuali sedikit saja. Namun Negara ‘berkuasa’ mengeluarkan uang baru sesuka hatinya. Kemudian dengan uang hampa yang biaya cetaknya 4 cents per lembar itu ia membeli asset bangsa tertinggal seperti perusahaan local, tambang, lahan pertanian dan perkebunan, juga komoditas riil yang dihasilkannya seperti emas, perak tembaga, alumunium, mangaan, minyak bumi, gas alam, dan lainnya.
Satu cara lain adalah perampokan terang-terangan berupa invasi/perang. Sebagaimana yang dialami oleh rakyat di Afganistan dan Irak saat ini. Motif yang sama juga sebetulnya ada di belakang setiap peperangan seperti Perang Dunia I dan II, juga masuknya Portugis dan Spanyol ke Indonesia ditahap awal kemudian oleh VOC pada tahap akhirnya. Motifnya GOLD, GLORY, GOSPEL itu nafsu mendasar manusia dan terus valid hingga kini.

Lalu ada cara pertengahan. Halus di awalnya, dengan diplomasi dan lobby serta kesepakatan tingkat tinggi. Tapi cara eksploitasinya sebetulnya sama saja. Ketika gerbang terbuka, maka penghancuran dan pencurian laksana operasi perang saja. Ketika Amerika melalui “teman dekat dalam negerinya menumbangkan Soekarno dan pada tahun 1967, lalu terjadi bagi-bagi kue ‘Mafia Berkeley’ dengan para pengusaha Yahudi di Swiss pada November 1967, sebetulnya sejak itulah digelar karpet merah bagi penguasa asing menjarah bumi Indonesia. Mulai Freeport, seluruh tambang, kekayaan alam dan sector-sektor strategis dijadikan menu santapan bersama kekuasaan asing.
Di Freeport misalnya, hingga sekarang Amerika tak mau kehilangan sebiji emas pun. Mereka membangun pipa-pipa sepanjang 100 km langsung menuju Laut Arafuru, di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut hasil emas dari perut bumi Papua ke Amerika.
Fakta yang terjadi di atas mungkin melampaui jangkauan ikhtiar kita. Ada konspirasi tingkat tinggi yang mungkin hanya Allah yang siapkan cara untuk menumbagkannya. Yang ingin kita pesankan adalah bahwa penguasaan emas, termasuk Dinar adalah upaya kecil tapi strategis untuk mempertahankan kemakmuran individu maupun di level Negara. Indonesia adalah negeri kaya dengan cadangan emas terbesar di dunia. Barat dengan ekonomi ribawi seolah ‘menjauhi’ emas. Padahal mereka diam-diam menimbun dan menyandarkan kesejahteraan ekonomi negaranya kepada simpanan emas. Amerika tercatat memiliki cadangan emas 80.000 ton atau sebesar 78,9 % dari cadangan devisanya. Meski ketika krisis lalu terus berkurang, namun jauh lebih besar dari cadangan emas Indonesia – yang merupakan negeri emas ‘swarnadwipa’ – yakni hanya 4,3 % dari cadangan devisanya.
Dengan menguasai emas secara individual, kita telah menjalankan misi mempertahankan kesejahteraan hakiki bangsa ini. Apalagi jika emas simpanan kita gunakan untuk bertransaksi dan modal investasi di sector riil sehingga akumulasi emas dan kesejahteraan masyarakat membesar dengan cepat.

(2) Perampok Bangsa-Bangsa – Mengapa emas harus jadi mata uang International, Ahamed Kameel Mydin Meera, Penerbit Mizan, Cetakan Pertama, April 2010, halaman 69-77
Marilah kita bersama-sama membangkitkan kembali investasi emas seperti yang dahulu telah dilakukan oleh nenek moyang kita, mbah kita, para-para orang terdahulu. Mari kita bersama-sama ajak teman kita, saudara kita, orang-orang disekitar kita untuk berinvestasi emas, entah dengan memanfaatkan facebook, youtube, atau membuat twiit tentang emas menjadi trending topic. Save our Gold. Seperti kita ketahui bersama bahwa
“Nilai dinar (emas) tetap sama semenjak masa Rasulullah Saw. Hingga kini, Dinar tetap mampu membeli seekor kambing.”


Pemuda Luar Biasa

Lima tahun lalu, saya mengenal seorang pemuda luar biasa. Usianya baru 22 tahun saat itu. Tetapi apa yang dia lakukan dalam hidupnya telah memberi saya inspirasi. Dia pernah berkata kepada saya, “Berikan saya Rp. 50.000, maka kamu menolong satu orang untuk mengubah nasib.” Saya tidak percaya, dan dia membuktikannya. Dia mengambil anak-anak jalanan untuk diberikan modal dan berjualan di kereta, stasiun atau terminal. Setiap mendapat keuntungan Rp 50.000, dia menambah satu orang anak lagi. Dia kemudian mendirikan agen minuman untuk mempermudah anak-anak itu mengambil barang.

Dalam jangka waktu dua tahun, 30 orang anak ada dalam binaanya. Dan, tak sekalipun dia mengambil keuntungan. Semua keuntungan dia gunakan untuk menolong anak-anak dalam hal pendidikan. Tak hanya itu, dia juga meluangkan waktunya setiap saat mendengarkan keluhan mereka, memberikan saran, dan tak hanya kepada anak-anak, tapi juga pada keluarganya.

Selain itu, dia memndirikan beberapa usaha yang banyak menyerap tenaga kerja seperti anyaman, pembuatan sepatu, percetakan, dan juga pembuatan kue. Prinsipnya adalah bukan hasil produksi atau besarnya modal yang membuat sebuah usaha berkembang, tapi doa dari banyak orang yang bergantung pada usaha itulah yang membuat sebuah usaha terus bertumbuh. Kini banyak di antara anak-anak yang tadinya miskin sudah bisa hidup layak. Para penganggur yang tadinya luntang-lantung tak punya pekerjaan kini hidup dengan harga diri.

Pada usianya yang ke-26, dia telah menjadi tumpuan hidup banyak orang. Tetapi pada usia 26 tahun pula Tuhan memanggilnya. Dalam hidupnya yang singkat, dia telah menjalankan tugasnya sebagai gardu epos. Dalam hati orang-orang yang telah dia sentuh kehidupannya, namanya akan selalu hidup, sementara epos yang ia berikan masih terus dirasakan hingga saat ini.

Dibalik sukes Grammen Bank

Muhammad Yunus, seorang dosen ekonomi berkebangsaan Bangladesh, memulainya dengan tindakan sederhana. Suatu hari Yunus menemukan seorang Ibu bernama Sophia Begum yang sedang mengerjakan perkakas dari bamboo. Ketika ditanya berapa penghasilannya, Yunus terkejut ketika mengetahui bahwa penghasilan ibu itu hanya dua sen per hari. Ibu menjelaskan bahwa dia tidak punya uang untuk membeli bahan baku, jadi dia meminjamnya dari seorang tengkulak, tapi kemudian harus menjual hasil kerjanya ke tengkulak tersebut dengan harga yang ditentukannya. Yunus bertanya berapa harga bahan baku tersebut, Ibu itu menjawab, “20 sen”.

Keesokan harinya, Yunus meminta para muridnya untuk menghitung berapa orang yang ada di desa itu yang memiliki pekerjaan seperti ibu tadi. Ternyata ada 42 orang. Setelah dihitung, ternyata hanya membutuhkan 27 Dolar untuk membantu 42 Orang pekerja. Yunus mengeluarkan uang dari sakunya, memberikannya kepada muridnya dan berkata, “Berikan ini pada 42 orang pekerja yang kamu temui, berikan masing-masing 20 sen. Katakan ini adalah pinjaman, dan mereka boleh membayarnya kapan pun mereka mau.”

Tak lama setelah itu, masing-masing dari 42 orang tersebut mengembalikan pinjamannya dan menyampaikan rasa terima kasih yang luar biasa. Saat itu muncul ide dalam benak Yunus untuk membantu lebih banyak orang dengan cara meminta bank memberikan pinjaman untuk orang-orang tersebut. Tapi pihak bank menolak dengan alasan jumlah itu terlalu kecil dan pastinya mereka tidak akan membayar. Yunus akhirnya mengajukan pinjaman atas nama pribadi dan memberikan jaminan. Uang pinjaman inilah yang nantinya akan dia gunakan untuk membantu para pekerja perkakas. Pihak bank akhirnya menyetujui sambil memberi peringatan kepada Yunus, “mereka tidak akan membayar”. Saya akan mengambil resiko itu,” jawab Yunus.

Ternyata semua orang yang diberi pinjaman membayar kembali. Yunus kemudian mengajukan pinjaman lebih banyak lagi untuk dapat membantu para pekerja. Yunus mulai dari satu desa, kemudian berkembang menjadi sepuluh, kemudian lima puluh, hingga seratus desa. Yunus kemudian mulai berpikir, “Kenapa saya tidak membuat bank sendiri saja?” Dua tahun setelah itu, izin dari pemerintah turun. Pada tanggal 2 Agustus 1983, Grameen Bank secara resmi berdiri. Saat ini, Grameen Bank telah bekerja di 46.000 desa, memiliki 1,267 cabang dengan 12,000 pekerja. Memberikan pinjaman dengan total US$ 4.5 miliar dengan pinjaman per orang berkisar antara $12-$15. Grameen Bank juga meminjamkan uang kepada pengemis agar mereka punya modal untuk berjualan. Muhammad Yunus telah mengangkat martabat jutaan orang dan memberikan kesempatan pada mereka untuk menjalani hidup yang lebih baik.